Jumat, 07 Mei 2010
Kumbakarna Raksasa Berwatak Satria Yang Berani Menentang Atasan Karena Benar
Anak kedua dari Wisrawa dan Sukesi adalah Kumbakarna. Walaupun ia berwajah raksasa sebagai akibat hukuman dewa kepada Wisrawa, tetapi Kumbakarna berbudi satria. Ia mempunya istri bidadari, Aswani namanya, yang hidup tentram damai dan tak mengikuti jejak Rahwana, karena tidak dapat menyetujui policy dan perbuatan kakaknya yang membabi buta, angkara murka dan merampas isteri Ramawijaya.
Dengan berani ia memberi saran kepada Rahwan, maka dengan pasti ia berkata:
“O, Kakanda Rahwana, kembalikan Sinta kepada Sri Rama, sebelum terlanjur negara Alengka hancur karenanya.”
Tetapi apa jawabnya?
Rahwana bukannya menerima usul Kumbakarna, malahan mengumpat dan mencaci-maki mengusir Kumbakarna untuk pergi jangan mencampuri urusan negara. Tetapi apa jadinya, setelah Prahasta dan para Senapati gugur satu persatu oleh kesaktian Sri Rama, persediaan bahan pangan habism dan logistiknya kacau, maka Rahwana akhirnya dengan rendah diri meminta agar Kumbakarna menjadi Senapatinya.
Berkatalah Rahwana:
“O, Kumbakarna, aku membutuhkan tenagamu, dengarkanlah baik-baik kataku. Negerimu hampir hancur berantakan, karena kamu hanya tidur mendengkur tidak menghiraukan. Semua Senapati dan perwira Alengka satu-persatu gugur. Kini negerimu diinjak-injak kera dan munyuk-munyuk wadya Sri Rama dari Maliawan. Sekarang mereka berkemah dan berbaris di gunung Suwelagiri. Kini, apakah baktimu kepada negara dan bangsamu.”
Tetapi Kumbakarna tak sepatah katapun menjawab. Sedang Rahwana hanya mondar-mandir seolah-oleh kehabisan kata, kemudian mengeluh sambil menghempaskan diri, duduk disinggasananya. Setelah sadar berteriaklah kembali meneruskan pidatonya:
“Oh Kumbakarna, kini seluruh harapanku tinggal kepadamu, ketahuilah bahwa paman Prahasta-pun telah gugur pula. Terjunlah ke medan laga adikku, bunuhlah Rama dan Laksmana. Tumpaslah Hanggada dan Anoman, musnahkanlah sekalian wadyamunyuk dan rewanda dari bumi Alengka. Ohhh, adikku, Kumbakarna yang kucintai, perlihatkanlah kesetiaan baktimu dan cinta kasihmu kepadaku. Aku adalah kakakmu yang tertua yang kini dalam kesedihan, aku yakin dengan kesaktianmu engkau dapat dan sanggup menumpas dalam waktu singkat seluruh wadya dan pengikut Rama.”
Setelah Kumbakarna mendengar bahwa Prahasta gugur, maka mulailah ia menggeram dan mngumpati katanya:
“Rahwana kakakku, itulah akibat orang yang berkepala batu, yang didengar hanya kemurkaan hatinya sendiri. Kecongkakan dan kepongahanmu engkau sendirilah yang membentuknya. Setiap kali engkau sesumbar, sok kuasa, seolah-olah tidak ada manusia di dunia ini yang melebihi kesaktianmu. Sekarang apakah jadinya? Negara hampir punah dan tumpas gulung tikar Oohhh Rahwana kakakku yang kuhormati dan aku segani, mengapa dahulu engkau tak mau dengar, dikala aku dan adikmu Wibisana yang cerdik bijaksana itu menasehatimu. Bukankah ia telah dengan berani dan penuh kejujuran mempersembahkan saran saranya, tetapi engkau buta, bahkan memarahinya, menuduhnya seolah-olah mengkhianatimu dan membantu lawan. Wibisana adalah manusia “Sarjana-sujanengbudi” yang dapat membaca akibat jauh dari hasil perbuatan baik dan buruk. Engkau tidak mendengarkan pertimbangannya, bahkan engkau mengutuk dan mengusirnya. Kini ia meninggalkanmu, meninggalkan negeri Alengka, bukan karena mengkhianati negara, tetapi ia memihak kebenaran. Itu adalah sikap “Suiana” yang tahu akan kebenaran.
Itulah bukti dan petunjuk bagimu, bahwa ia benar-benar berbicara dengan sepenuh jiwa dan cita-cita luhurnya, demi keselamatanmu sendiri. Kini engkau baru tahu akibat kepergiannya, seolah-olah Alengka kehilangan cahayanya. Para hulubalang bahkan engkau sendiri, berjalan menumbuk-numbuk seperti orang buta kehilangan tongkatnya ! Siapakah yang bersalah, oh kakakku, masih ada waktu. Kembalikan Sinta kepada Rama demi keselamatan negara dan bangsa Alengka. Saranku ini bukanlah karena aku takut berperang, tetapi aku tahu bahwa Ramalah yang berdiri dipihak yang benar. Kalau ini kau kerjakan, berarti engkau telah menyelamatkan negara dan bangsamu.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar