...:: Senin, 18 Agusutus 2014 Jam 19.00 WIB Wayang Kulit Ki Anom Suroto Lakon "Durna Gugur" Bagian 1, Selamat Menikmati ::...

Rabu, 26 Mei 2010

Jadwal Siaran Radio "BUDAYA JAWA" 26 Mei s.d. 6 Juni 2010



Wisanggeni

Bambang Wisanggeni adalah nama seorang tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam wiracarita Mahabharata, karena merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Ia dikenal sebagai putra Arjuna yang lahir dari seorang bidadari bernama Dresanala, putri Batara Brahma. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.

Kelahiran
Kisah kelahiran Wisanggeni diawali dengan kecemburuan Dewasrani, putra Batari Durga terhadap Arjuna yang telah menikahi Dresanala. Dewasrani merengek kepada ibunya supaya memisahkan perkawinan mereka. Durga pun menghadap kepada suaminya, yaitu Batara Guru, raja para dewa.

Atas desakan Durga, Batara Guru pun memerintahkan agar Batara Brahma menceraikan Arjuna dan Dresanala. Keputusan ini ditentang oleh Batara Narada selaku penasihat Batara Guru. Ia pun mengundurkan diri dan memilih membela Arjuna.
Brahma yang telah kembali ke kahyangannya segera menyuruh Arjuna pulang ke alam dunia dengan alasan Dresanala hendak Batara Guru jadikan sebagai penari di kahyangan utama. Arjuna pun menurut tanpa curiga. Setelah Arjuna pergi, Brahma pun menghajar Dresanala untuk mengeluarkan janin yang dikandungnya secara paksa.

Dresanala pun melahirkan sebelum waktunya. Durga dan Dewasrani datang menjemputnya, sementara Brahma membuang cucunya sendiri yang baru lahir itu ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.

Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Dresanala tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna "racun api". Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brahma, sang dewa penguasa api. selain itu, api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni.
Atas petunjuk Narada, Wisanggeni pun membuat kekacauan di kahyangan. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap dan menaklukkannya, karena ia berada dalam perlindungan Sanghyang Wenang, leluhur Batara Guru. Batara Guru dan Batara Brahma akhirnya bertobat dan mengaku salah. Narada akhirnya bersedia kembali bertugas di kahyangan.

Wisanggeni kemudian datang ke Kerajaan Amarta meminta kepada Arjuna supaya diakui sebagai anak. Semula Arjuna menolak karena tidak percaya begitu saja. Terjadi perang tanding di mana Wisanggeni dapat mengalahkan Arjuna dan para Pandawa lainnya.
Setelah semuanya jelas, Arjuna pun berangkat menuju Kerajaan Tunggulmalaya, tempat tinggal Dewasrani. Melalui pertempuran seru, ia berhasil merebut Dresanala kembali.

Sifat dan Kesaktian

Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan bahasa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.

Kesaktian Wisanggeni dikisahkan melebihi putra-putra Pandawa lainnya, misalnya Antareja, Gatutkaca, ataupun Abimanyu. Sepupunya yang setara kesaktiannya hanya Antasena saja. Namun bedanya, Antasena bersifat polos dan lugu, sedangkan Wisanggeni cerdik dan penuh akal.

Kematian
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur.

Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka.

Wisanggeni_Racut
Ketika Pandawa hendak bertempur melawan Korawa dalam Perang Bharatayuda, para dewa di kaendran Jonggring Saloka menuntut agar Wisanggeni dan Antasena harus tiada agar Pandawa menang di dalam peperangan itu. Pakem wayang ini memang agak unik dan sarat dengan piwulang yang amat luas pengertiannya.
Memang di dunia wayang, dua ksatria Pandawa yang tak mengenal tata krama atau tidak mampu berudanegara ini tak ada yang mampu melawan. Dengan kata lain tanpa tanding.
Antasena kerap disebut sebagai orang bambung, sementara Wisanggeni disebut sebagai orang edan. Antasena mempunyai senjata sungut, sementara Wisanggeni tak mempan segala senjata yang ada di dunia ini. Kedua-duanya mempunyai senjata yang terletak di mulutnya.
Dua ksatria ini lambang keluguan, lambang kesederhanaan, lambang kebersahajaan-prasaja. Ksatria ini juga simbol generasi muda yang ingin agar negaranya makmur, sejahtera, dan orangtuanya jaya di medan perang. Perang dalam hal ini adalah hidup di dunia ini.
Antasena lambang sebuah tekad generasi muda yang siap membedah bumi ibaratnya. Tekad baja dengan bekal semangat dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi semuanya harus dikendalikan, diracut. Demikian pula Wisanggeni, raja api yang berkobar di dalam diri manusia, tak lain dan tak bukan adalah nafsu angkara murka untuk menguasai jagad ini mesti diracut, disirnakan.
Perang di jagad raya ini besarannya adalah perang melawan keangkaramurkaan, kedurjanaan. Namun di dalam hal yang lebih mikro, perang melawan nafsu, melawan sifat-sifat buruk manusia sendiri. Justru di sinilah perang sesungguhnya. Kalau perang melawan keburukan dunia itu gampang dimanifestasikan dalam gerakan moral, gerakan budaya, dan gerakan-gerakan yang lain. Tetapi perang melawan keburukan dan sifat diri yang jelek sulit untuk dimanifestasikan kecuali dengan diam, bertapa, berpuasa, bermatiraga.
Dua ksatria itu memang tidak mengenal udanegara, bukannya mereka tidak tahu, tetapi memang mempunyai tekad dan semangat yang ‘sundul langit’. Walau mereka lugu, tetapi dalam kehidupan perlu keluwesan, perlu strategi, dan perlu penguasaan pancaindera. Pandawa harus menang dengan kekuatan sendiri, tanpa dibantu oleh kekuatan yang luar biasa yang datang dari kekuatan lain. Kemenangan yang dihasilkan dengan kekuatan besar alias kekuasaan itu kemenangan yang wajar, kemenangan yang dipaksakan, bukan lantaran usaha sendiri dengan semangat dan perjuangan sendiri.
Sifat Antasena yang kadangkala terasa kebablasen, demikian pula Wisanggeni yang selalu dalam lindungan SangHyang Wenang harus dihentikan, diracut.
Orang Jawa Bilang ”Yen harsa sumurub urubing tirta, kendalenana taline mega”.
‘Urubing tirta’ merupakan manifestasi rasa, dituntut menahan dan mengendalikan nafsu. Manusia jadi ‘nglegena’ bukan tanpa keinginan, tetapi manusia harus pasrah-narima dan selalu mengalah-mengejar jalan Allah.(Sugeng WA)

Arti Nama Wisanggeni
Wisanggeni berarti bisanya api. berasal dari wisa = bisa dan geni = api. Tak peduli siapapun pasti dibakarnya. Musuh atau sodara, teman atau tetangga, kriteriannya hanya satu, yang dibicarakan adalah kebenaran, dan kebatilan adalah musuhnya.

Kelahiran Wisanggeni dalam jagad pewayangan adalah diluar kehendak dewa. Sebab Wisanggeni adalah manusia edan dalam arti yang sebenarnya. Wong edan ngomong kebenaran bukan pada tempatnya. Wong edan tidak peduli suasana dan siapa yang dihadapi. Wong edan tidak mengenal takut. Dan keedanan Wisanggeni tidak lebih dari ketakutan para dewa akan tuah yang dibawa.
=====

Dalam wiracarita Mahabharata, Wisanggeni adalah anak Arjuna dari Dewi Dresanala. Ia lahir karena Dresanala bersikukuh tidak menggugurkan kandungannya seperti tujuh bidadari yang juga hamil karena sebagai anugerah Dewa kepada Arjuna yang telah membebaskan kahyangan dari raksasa Niwatakawaca karena menginginkan Dewi Supraba.

Pada saat lahirnya, Wisanggeni membuat ontran-ontran di Kahyangan karena hendak dibunuh oleh kakeknya Batara Brama atas perintah Sang Hyang Giri Nata atau Batara Guru karena lahirnya Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Tapi karena Wisanggeni adalah titisan Sang Hyang Wenang, dia luput dari bala tersebut.

Wisanggeni tumbuh dibesarkan oleh Batara Baruna (Dewa Penguasa Lauatan) dan Hyang Antaboga (Rajanya Ular yang tinggal di dasar bumi), yang menjadikan Wisanggeni punya kemampuan yang luar biasa. Di jagat pewayangan, dia bisa terbang seperti Gatotkaca dan masuk ke bumi seperti Antareja dan hidup di laut seperti Antasena.

Wisanggeni tinggal di Kahyangan Daksinapati bersama ibunya. Dan meninggal menjelang perang Bharatayuddha bersama Antasena atas permintaan Batara Kresna sebagai tumbal untuk kemenangan Pandawa atas perang tersebut.

Karakter Wisanggeni adalah mungkak kromo (tidak menggunakan bahasa kromo ketika bicara dengan siapapun) seperti halnya Bima. Dan dia punya kemampuan Weruh sadurungin winarah (mampu melihat hal yang belum terjadi).
=====

Syahdan lahirlah Bambang Wisanggeni di pertapaan Kendalisada, tempat Resi Mayangkara…
Dia berwajah tampan dan digariskan berwatak sahaja.

Lalu, bagaimanakah isi hati Wisanggeni? yang kelahirannya dituding menyelahi kodrat, sehingga Bethara Brama, sang kakek pun tega hendak mengambil nyawa nya.

Siapakah yang hendak dipersalahkan? Apakah ibu Dresanala? Perempuan dewi yang semata-mata memberi penghargaan tinggi kepada hidup jabang bayi Wisanggeni, sehingga bersikukuh menolak untuk menggugurkan kandungannya. Ataukah Sang Mintaraga atau Arjuna yang menanam benih di rahim ketujuh Dewi Kahyangan sebagai anugerah dari Sang Hyang Manikmaya, karena jasanya membebaskan kahyangan dari Prabu Winatakaca yang menginginkan Dewi Supraba?

Tiada yang berani menghakimi, namun bentuk kesalahan kodrat itulah yang harus dibinasakan, meski akhirnya gagal karena Wisanggengi dalam lindungan Sang Hyang Wenang.

Barangkali luka di hati yang tetap berakar menjadi energi yang menjadikannya satria berkemampuan luar biasa. Di bawah asuhan Sang Hyang Antaboga dan Bethara Baruna, Wisanggeni sanggup terbang layaknya Gatutkaca, ambles bumi seperti Antareja, dan berkubang tenang di lautan menandingi Antasena.

Satria Pandhawa yang mempunyai sifat mungkak kromo atau tidak mau berbahasa halus pada siapapun termasuk pada Sang Bethara Guru ini tiada tandingan dan tiada yang mampu melawan. Seringkali dicap sebagai “wong edan” karena tak mempan senjata apapun di dunia ini. Barangkali karena itulah, kematiannya dikehendaki seluruh dewa-dewa di kahyangan, dimana tekad baja dan semangat kekuatan luar biasanya kelak akan dapat membinasakan Pandhawa yang menang atas Kurawa.

Meski ia termasuk golongan weruh sakdurunge winarah (mampu melihat sebelum terjadi), tetap juga Wisanggeni menjalani takdirnya kemudian: Menjadi tumbal kemenangan Pandhawa. Sang satria Wisanggeni mati di tangan Bala Kurawa dengan legowo.
Entah semiris apa kidung Megatruh yang ditiupkan saat Wisanggeni meregang nyawa, memenuhi permintaan para dewa di kaendran Jonggring Saloka yang dititahkan pada Kresna, sebagai prasyarat kemenangan Pandhawa. Jasadnya moksa sesuai kehendak Sang Hyang Wenang.

Kahyangan Daksinapati tempat Dewi Dresanala mengasuh dan membuai Wisanggeni menangis.. menangis.. meratapi takdir yang pada akhirnya tetap terjadi…
======

Wisanggeni adalah anak dari arjuna dengan dewi dresnala. sejak lahir merupakan simbol perlawanan terhadap kebhatilan. berani menentang keputusan bhatara guru yang terkadang dipengaruhi oleh dewi durga sehingga sering merugikan pandawa. sebelum datangnya wisanggeni yang sering protes ke langit jika pandawa di buat cilaka oleh dewata adalah aki semar.

Setelah wisanggeni lahir maka wisanggenilah yang sering menggebuk para dewa jika mereka melakukan kesalahan dan ketak adilan pada para pandawa. wisanggeni memiliki kewaskitaan yang sama dengan sri kresna. di gagrak wayang banyumas sering yang menyelesaikan masalah anak anak pandawa bukan sri rkesna tapi wisanggeni. disini digambarkan wisanggeni adalah gabungan sipat sipat yang luar biasa, cerdas, mengetahui masa depan, sakti seperti dewa, tapi ngoko dan tak berbahasa halus walo dialeganya halus (disini bedanya wisanggeni dengan antasena, sama sama ngoko tapi dialeg antasena kasar, sementara dialeh wisanggeni halus), dan juga wisanggeni itu pandai berdiplomatik dan tak cepet naik darah, bisa mengikuti strategi yg dibuatnya sehingga sering dijadikan pemimpin oleh anak anak pandawa.

Wisanggeni sangat sakti, bhatara guru saja kalah oleh wisanggeni. dalam cerita kelahiran wisanggeni bhatara guru sampe lari ke dunia karena di kayangan semua dewa di buat babak belur oleh wisanggeni. wisanggeni lahir dan besar seketika di tengah api kawah candradimuka. dan langsung dimomong oleh aki semar badranaya.

Kematianya?nah ini dia. ada yg bilang wisanggeni di masukan alam jin. yang pernah saya liat lakonya adalah. wisanggeni dan antasena di jadikan wiji kembali oleh hyang bhatara wenang. sebagai bentuk wujud bhakti untuk kemenangan pandawa.
======

Pemuda tampan berambut lurus…….
Mengapa kau sembunyikan tampan wajahmu dalam caping besar…?
Mengapa kau sembunyikan gagah tubuhmu dalam kasut lusuh…?

Wisanggeni ….., begitulah nama yang diberikan Sri Kresna
Dia telah dilahirkan….. Tangis pertamanya mengguntur bergulung – gulung menembus keheningan langit dan gunung
Menghentak ketentraman, mencabut kemapanan jagat seolah tak terbendung

Duh jabang memerah……sungguh tampan tiada terkira…..
Terlahir dari rahim Dewi Dresanala sang Dewi dari Khayangan
Dalam peluk perlindungan Hanoman raja segala kera.
Tidak dalam peluk Ayahanda tercinta, Arjuna putra Pandawa…
Ditiup ubun-ubun dengan mantra sakti Hanoman sebagai pelindung jiwa

Kekuatan mahasakti mana lagikah yang mampu menembus mantra pelindung….?
Mengambil wisanggeni dalam lelap tidur berselimut daun talas
Kemana si Jabang bayi lenyap …..?, dibawa lari cahaya putih dalam sekejap….

Tak terbayang maha kemarahan Hanoman…..

Diatas keluasan samudera…,
Batara Brama dalam gundah gulana……
Betapa berat tugas yang diemban…
Menghilangkan Wisanggeni dari peradaban…

”Duh Batara Guru….., tak mengertikah….,tolakan jiwa yang ada…..?”
”Duh batara Guru……, tak mengertikan…., Wisanggeni adalah cucu dicinta…..?”

Lalu…dengan berkaca kaca….
Dilepas jabang memerah dari atas langit samudera….

”Keluarlah dari peradaban..lenyaplah dari simpangan kodrat…., Biarlah samudera luas menjadi kubur bagimu cucuku…..”

Sungguh..
Sebagai titisan Sang Hyang Wenang…….
Samuderapun seolah menyingkap…., dan batara baruna penguasa semua lautan menangkap….

Wisanggeni tumbuh dalam bimbingan Batara baruna dan Antaboga (raja segala ular)

Pemuda tampan berambut lurus……

Mengapa kau sembunyikan wajah tampanmu dalam caping besar…?
Mengapa kau sembunykan gagah tubuhmu dalam kasut lusuh..?

Dan hari harimu adalah pelarian….., pertempuran….., perlawanan…..diburu dan terus diburu……..

Seperti air yang mengalir tak berhenti…, datang berulang berganti ganti….
Begitu sabda Batara Guru…..
Yang menyalahi kodrat merusak tatanan
yang menyalahi kodrat harus ditiadakan
Betapa lelah………

Duh batara jagat dewata……
Mengapakah aku harus ditiadakan, atas kodrat yang tidak pernah aku pilih…?

Sungguh Wisanggeni tak mengerti. …
Ber Ayah Arjuna manusia, beribu Dewi Darsanala dari Sang Hyang jagat Dewa dewi…
Lantaran Sang Manusia dan Dewi…., tak sepantasnya berlahir Anak.
Pakem yang menyinggung harkat tertinggi kemanusiaan Arjuna….
Justru dibiarkanya Sang Dewi Hamil dan dibawa lari turun ke alam manusia….

Sungguh bukan mau Wisanggeni terlahir menyalahi kodrat…
Sungguh bukan mau Wisanggeni membalik tatanan…
Sungguh tak Mengerti, jika Wisanggeni harus ditiadakan….

Lalu kenapakah Sang batara Guru, menghadirkan Dewi Dresanala dalam sisian hidup Arjuna…?

Apakah karena Arjuna telah mengalahkan Raksasa Niwatakacana yang mengobrak obrik Khayangan karena menginginkan Dewi Supraba..?.

Tapi Mengapakah Hanya boleh Bersanding namun tidak boleh bertalian……

Duh Biyung…….., dalam lelah setiap pertempuranya..
Selalu Wisanggeni tak mengerti…….
Kenapa Putera Arjuna ini selalu diburu…dan diburu oleh para Utusan Dewa.
Sungguh bukankah Dewa adalah pengatur dan pelindung segala….
Siapakah yang membuat kodrat …. dan siapakah yang menyalahi kodrat..?

(Pada Akhir cerita……., Wisanggeni…mati bersama sang Antasena menjadi tumbal untuk kemengan Pandawa dalam perang Bharatayudha…..

Dalam pewayangan Wisanggeni adalah maha kesaktian, bisa terbang laksana Gatotkaca, menembus bumi laksana Antareja, dan hidup di lautan laksana Antasena…..)

Bimasena, Wisanggeni dan Antasena

Wisanggeni adalah wayangisasi ilmu pengetahuan. Ilmu itu hakikatnya adalah kebenaran. Kebenaran adalah netral. Tapi juga kurang ajar pada segala macam kedok, bungkus, baju dan selimut. Bila kebenaran telah mengungkap baju dan selimut atau menelanjangi bungkus dan kedok, maka kesannya jadi kekurangajaran. Sebab para pemakai kedok dan bungkus sudah barang tentu bermaksud menyembunyikan keasliannya. Maka wayang Wisanggeni tak kenal tatakrama dan basa-basi. Selalu clandakan dalam berbicara kepada siapapun. Stel yakin dengan kepala tengadah dan selalu berkacak pinggang.

Bimasena wayang lambang teknologi. Sesuatu yang juga menggambarkan kebenaran dari sisi hasil nalar dan rekayasa. Bukan hanya rekadaya. Membawa watak jujur. Asal prasyarat dipenuhi, maka akan begitulah prosedurnya. Dengan bahan apapun yang berupa kacang-kacangan setengah mateng, maka kalau dekat dengan cendawan Rhizopus, ya akan menempe. Maka Bimasena dikesankan berwatak tegas, teguh dan tegar. Pendiam tapi bisa kejam, karena memang harus begitu. Bimasena juga tak kenal tatakrama dan basa-basi. Dia hanya hormat pada jatidirinya, Dewaruci yang menjiwai Bimasuci.

Antasena adalah anak bungsu Bimasena dari dewi Udang, Dewi Urang Ayu derivate dewa laut, Baruna. Anda semua tahu, apa yang ada dikepala Udang? Haha, dialah lambang seni. Sak kepenake. Sering dijadikan idola dalang-dalang ‘gagrak’ Ngayogyakartan. Tak punya pakem blas! Tidak kenal basa-basi. Tanpa pernah berkacak pinggang. Berpostur gagah seperti bapaknya, tetapi kalau berjalan malah njrunthul seperti Sangkuni. Bila perlu, dalam berperang di pagelaran wayang, tak usah diiringi gamelan. Karena dia sendirilah gamelan itu. Seni boleh ngawur kan? Boleh pula dia mematikan dan menghidupkan lagi lawannya.

Tapi nasib dua saudara sepupu, Wisanggeni – Antasena, memang tragis. Menjelang Bharatayudha, malah pilih nyemplung kawah condrodimuko, kena akal bulus penasihat Pandawa, Sri Kresna. Tidak mampu melihat kebenaran yang terbungkus kelicikan! Akhirnya Ilmu dan Seni harus menyingkir dari peperangan. Ya Ilmu dan Seni jelas tidak terliat dalam peperangan jenis apa pun! Menyerahkan semua pada Teknologi. Dan Bimasenalah yang menghabisi 98 Kurawa bersaudara. Semua Kurawa tumpas olehnya seorang, kecuali Kartamarma dan Dursilawati….

Selasa, 25 Mei 2010

W A Y A N G

Pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog (antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam falsafah.

Seni pewayangan dapat digelar dalam bentuk Wayang Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk.

Semasa Sri Susuhunan X di Solo didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.

Seniman cina yang berada di Solo juga kadang menggelar wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri Cina serta iringan musiknya khas cina.

Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).

Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).

Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput

Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan.

Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.

Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia jawa dengan manusia lain.

Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah, sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil "Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"

KHUSUS WAYANG PURWA


Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.

Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.

Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang ikut pula dipengaruhi bentuk wayangpun berubah, misalnya, bentuk mata wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk selanjutnya diberi pewarna.

Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.

Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.

Pengaturan wayang

Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.

SIMPINGAN KIRI
1.Buto raton (Kumbakarno)
2.Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3.Rahwana dengan beberapa wanda
4.Wayang Bapang (ratu sabrang)
5.Wayang Boma (Bomanarakasura)
6.Indarajit
7.Trisirah
8.Trinetra dan sejenisnya
9.Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
9.Raden Kakrasana
10 Prabu Salya
11.Prabu Matswapati
12 Prabu Duryudana
13.Prabu Salya
14.Prabu Salya
15.Prabu Matswapati
16.Prabu Duryudana
17.Raden Setyaki
18.Raden Samba
20.Raden Narayana

Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak kami cantumkan.

* Wayang Eblekan :

Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping.
Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain.

* Wayang dudahan :
Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.

SIMPINGAN KANAN
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah sebagai berikut :
1.Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
2.Werkudara dari beberapa macam wanda
3.Bratasena dari beberapa macam wanda
4.Rama Parasu
5.Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6.Ontareja
7.Anoman dari beberapa macam wanda
8.Kresna dari beberapa macam wanda
9.Prabu Rama
10.Prabu Arjuna Sasra
11.Pandhu
12,Arjuna
13.Abimanyu
14.Palasara
15.Sekutrem
16.Wayang putran
17.Bati

Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom (raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).

Pakem Ringgit Wacucal:

Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa:
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung, Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma, Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena, Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan

Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit, Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten, Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader Bang (43 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar, Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya, Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata, Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak, Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).

Pakem Ringgit Wacucal:


Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Wayang Purwa I:

Ki Prawirasudirja
Surakarta.

Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi, Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar, Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena Rabi, Calunthang dan Carapang.

Arti dan lambang
Jika anda nonton wayang purwa, baik yang dipagelarkan semalam maupun yang dipergelarkan padat, maka jika direnungkan benar-benar didalamnya terkandung banyak nilai serta ajaran-ajaran hidup yang sangat berguna. Semua yang ditampilkan baik berupa tokoh dan yang berupa medium yang lain didalamnya banyak mengandung nilai filosafi. Secara gampang saja baru melihat simpingan wayang, orang telah mempunyai penilaian. Bahwa simpingan kanan melambangkan tokoh yang baik, simpingan kiri melambangkan tokoh yang jelek atau buruk. Kalau kita melihat perangnya wayang, wayang yang diletakkan atau diperangkan tangan kiri pasti kalah. Tetapi hal ini tidak semua benar.

* Didalam pedalangan kita kaya nilai-nilai di dalamnya. Nilai-nilai di dalam pedalangan diantaranya:
* nilai kepahlawanan

contoh: tokoh Kumbakarna, Adipati Karna.

* nilai kesetiyaan

contoh: tokoh Dewi Sinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya..

* nilai keangkara murkaan

contoh: tokoh Rahwana, Duryudana dan sebagainya.

* nilai kejujuran

contoh: Tokoh Puntadewa dan sebagainya. dan sebagainya. dan sebagainya.

Di sini masih banyak nilai-nilai yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Arti lambang juga terdapat didalam pakeliran lewat lakon-lakon wayang. Kalau kita mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya mengandung lambang kehidupan manusia di dalam mencapai cita-cita hidup kita harus dapat melewati beberapa tantangan, kalau kita berhasil mencapainya kita akan mendapatkan buahnya.

Gunungan
Kalau kita melihat pagelaran wayang kulit pasti akan melihat gunungan, dan lebih sering disebut juga kayon. Dinamakan gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran belum dimulai, gunungan ditancapkan tegak lurus di tengah kelir pada batang pisang bagian atas. Tetapi jika pakeliran telah dimulai maka gunungan ditancapkan pada simpingan bagian kanan dan kiri.

Gunungan terdapat pada setiap pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek, wayang suluh dan sebagainya. Tetapi gambar gunungan kalau kita lihat juga banyak dijadikan simbol, atau suatu lambang.

Contoh:
Dalam lingkungan hidup atau sering disebut Kalpataru, digambarkan lambang sebuah kayon.
Kalau kita membedakan jenis kayon atau gunungan itu ada dua macam yaitu:
1. Kayon Gapuran
2. Kayon Blumbangan

Adapun ciri-ciri kayon gapuran adalah sebagai berikut :
1. Bentuknya ramping
2. Lebih tinggi dari kayon blumbangan.
3. Bagian bawah berlukiskan gapura.
4. Samping kanan dan kiri dijaga dua raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan balaupata.
5. Bagian belakang berlukiskan api merah membara.

Adapun ciri-ciri kayon blumbangan adalah sebagai berikut :
1. Bentuknya gemuk
2. Lebih pendek dari keyon gapuran
3. Bagian bawah berlukiskan kolam dengan air yang jernih.
4. Ditengah ada gambar ikan berhadap-hadapan ditengah kolam.
5. Bagian belakang berlukiskan api berkobar merah membara biasanya juga ada lukisan kepala makara.

Untuk lebih jelasnya dapat kita melihat gambar kayon disamping kiri ini. Gunungan di dalam pegelaran wayang kulit mempunyai kegunaan yang penting sekali. Adapun guna kayon adalah sebagai berikut:

1. Tanda dimulainya pentas pedalangan dengan dicabutnya kayon lalu diletakkan pada simpingan kanan dan kiri.
2. Tanda pergantian adegan / tempat.
Contoh: Setelah adegan Astina akan diganti adegan Amarta biasanya diawali dengan memindahkan kayon atau memutar kayon lalu ditancapkan pada posisi semula.
3. Untuk menggambarkan suasana.
Contoh : Suasana sedih dalam suatu adegan, kayon digerak-gerakkan diikuti ceritera dalang.
4. Untuk menggambarkan sesuatu yang tidak ada wayangnya.
Contoh:Suatu ajian yang dikeluarkan dari badan tokoh wayang. Dewa tertinggi yang tidak ada wayangnya.
Misalnya Sang Hyang wenang dan sebagainya.
5. Menggambarkan air, api, dan angin.
Contoh:Dari patet enem ke patet sanga di tandai dengan perubahan letak kayon.
Misalnya dari kayon condong kekiri dirubah gerak tegak lurus.
6. Tanda berakhirnya pentas pakeliran yaitu dengan menancapkan kayon ditengah-tengah.

Gambar kayon didalamnya berlukiskan :
1. Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga.
2. Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng.
3. Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
4. Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
5. Gambar macan berhadapan dengan banteng.
6. Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
7. Dua kepala makara ditengah pohon.
8. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon.
9. Dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon.

Jadi kesimpulannya gambar kayon didalamnya sudah melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya.

PARA DEWA (DEWA-DEWA)

Setelah kita menguraikan secara sederhana tentang gunungan maka mulai kita menginjak nama-nama dari pelaku wayang. Kita mulai dari nama-nama dewa. Jumlah dewa-dewa dan dewi-dewi sangatlah banyak. Di sini yang ingin kami ketengahkan hanyalah nama-nama dewa atau dewi yang sering digunakan di dalam setiap lakon wayang. Kita mulai dari Batara Guru.

BATARA GURU
Nama lain :

1. Hyang jagad Pratingkah
2. Sang Hyang catur buia
3. Sang Hyang Manikmaya

Tempat : Kayangan Jonggirikaelasa

Istri : Dewi Uma

Anak :
1.Batara Indra
2.Batara Bayu
3.Batara Wisnu
4.Batara Brama
5.Batara Kala
6.Batara Sakra
7.Batara Mahadewa
8.Batara Asmara

Ayah Batara Guru : Hyang Tunggal

Keterangan :

Batara Guru adalah dewa yang merajai kayangan serta mengusai alam. Batara Guru pada saat dilahirkan berwajah tampan serta tanpa cacat. Karena kecongkakannya dan merasa bangga karena mempunyai wajah tampan dia akhirnya menerima hukuman dari Hyang tunggal serta dewa yang Agung dengan bertangan empat, bercaling, leher berwarna biru. Hal ini adalah buah dari perbuatannya. Batara Guru didalam ceritera pedalangan sering mengganggu dunia dengan menyamar menjadi manusia ingin menghancurkan Kyai Semar, Pandawa tetapi hal ini selalu kalah dengan kebajikan dan kejujuran yang akhirnya Hyang Guru minta maaf dan kembali kekhayangan.

BATARA NARADA
Nama lain : Kanekaputra

Tempat : adalah kayangan Sudukpangudaludal

Keterangan :
Batara Narada adalah ketua dari para dewa ia bertugas memimpin para dewa serta dewa yang dimintai pertimbangan oleh batara Guru dalam segala hal. Tugas lain adalah menyampaikan anugerah pada manusia serta mengamati kejadian di dunia. Asal mula batara Narada berparas elokvdan sakti yaitu dia ingin mengalahkan para dewa maka bertapa terus sehingga bertemu dengan dewa guru/Batara Guru.

Setelah terjadi bantah Batara Guru kalah. Akibat hal itu batara Guru selalu memanggil kakang. Batara Narada akhirnya berwajah buruk serta berbadan cebol karena pada suatu ketika mendapat umpat batara Gutu sehingga seperti bentuk gambar diatas. Batara Narada selalu melaksanakan tindakan kebenaran maka pada saat batara Guru bertindak salah selalu dilawannya.

BATARI DURGA
Tempat : Hutan Setra Gandamayit

Suami : Batara Kala

Bentuk : Raseksi yang ganas dan bengis

Keterangan:
Batari Durga dahulu adalah seorang putri yang cantik jelita berujud bidadari bernama dewi Uma. Ia sangat dicintai oleh Hyang Guru. Peristiwa itu terjadi pada saat Hyang Guru sedang rekreasi naik lembu Nandini melihat keindahan jagad raya, karena asyiknya betara Guru timbullah nafsu asmara dengan dewi Uma. Tetapi dewi Uma tidak mau karena mengingat sedang naik Lembu Nandini. Karena Batara Guru sangat bernafsu maka kamanya jatuh di laut. Yang akhirnya lahir Batara Kala. Setelah kejadian itu Dewi Uma diajak pulang. Di kayangan Batara Guru marah bukan kepalang karena marahnya Betari Uma disabda menjadi reseksi yang bengis dan disuruh kehutan Setra Gandamayit.

Mari kita melihat kembali pada kejadian yang lalu, pada saat Batara Guru akan memaksa Batari Uma. Maka Batari Uma mengutuk sikap Batara Guru seperti itu bagaikan raksasa. Maka jadilah Batara Guru mirip raksasa dengan mempunyai caling. Atas kejadian itu Batara Guru merasa masgul hatinya. Batari Durga dapat kembali ujut seperti sedia kala setelah diruat oleh satria bungsunya Pandawa yaitu raden Sadewa. Maka lakon itu disebut lakon Sudamala atau Durga ruwat.

Batari Durga di Setra Gandamayit memerintah para jin, iblis, banaspati, gandaruwo, engklek-engklek balung antandak dan sepadannya.

BATARA BRAMA
Tempat : Kayangan Deksina di dalam pedalangan sering disebut kayangan Argadahana.

Ayah : Batara Guru

Istri : Dewi Saraswati

Ibu : Batari Uma

Kesaktian : Dewa yang menguasai api.

Keterangan:
Batara Brama pernah memberikan pusaka Alugara dan Nanggala kepada raden Kakrasana pada saat ia bertapa di pertapaan Arsonya. Maka seolah-olah Hyang Brama adalah guru dari raden Kakrasana. maka kalau kita lihat bentuk wayang Prabu Baladewa, raden Kakrasana mirip dengan bentuk wayang Batara Brama. Batara Brama selalu atau sering mengikuti perjalanan Batara Guru ke Ngarcapada / Bumi menjelma menjadi raja seberang dengan nama misal prabu Dewa Pawaka atau yang lain.

Hal ini dapat digagalkan oleh Semar. Sehingga kehendaknya ingin memusnahkan Pandawa atau membuat onar dunia tidak berhasil. Juga dapat dilihat dalam lakon lahirnya Wisanggeni. Tujuan Batara Drama akan mengawinkan putrinya Dewi Dresanala dengan Dewa Srani serta menceraikan radaen Arjuna. Hal ini dapat digagalkan oleh Semar dan para Pandawa. Jadi kesimpulannya bahwa semua ulah dewa jika salah akan kalah oleh tindakan manusia yang benar.

BATARA INDRA
Tempat : Kayangan Jonggirisaloka

Kesaktian :
Batara Indra mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan banyak mempunyai panah sakti.

Anak :
- Dewi Tara
- Dewi Tari
- Dewi Gagar Mayang

- Batari Suprada dan masih banyak lagi yang berwujud bidadari.

Ayah : Batara Guru

Ibu : Batari Uma

Keterangan :
Batara Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa.

Sebagai contoh: Raden Arjuna mendapatkan panah Pasopati sebagai panah sakti akibat dari dia bertapa dan membantu atas ketentraman di kayangan, sehingga panah tersebut berguna di dalam perang besar Baratayuda.

BATARA ANTABOGA
Kayangan : kayangan Saptapratala atau Saptabumi

Anak : Dewi Nagagini.

Keterangan :
Batara Antaboga adalah dewa ular maka disebut juga ujud naga besar. Hyang Antaboga mempunyai putri cantik jelita yang diperistri raden Werkudara. Peristiwa ini terjadi pada saat Pandawa ditipu Kurawa diajak berkumpul dan pesta. Tiba-tiba tempat tersebut dibakar oleh para Kurawa dalam pedalangan dalam lakon Balesigalagala. Pandawa tidak mati karena ditolong oleh garangan putih yaitu kajadian dari Hyang Antaboga. Akhirnya Pandawa selamat Werkudara dikawinkan dengan dewi Nagagini mempunyai keturunan raden Hanantareja.

BATARA KAMAJAYA
Tempat : Kayangan Cokrokembang

Putra dari : Batara Ismaya (Semar)

Istri : Batari Ratih

Keterangan:
Dewa ini berparas elok serta selalu rukun bersama istrinya. Maka dari itu oleh orang jawa dijadikan kegemarannya (idam-idaman) sampai pada cita-citanya. Kalau orang mempunyai putra atau putri diharapkan berwajah elok dan cantik. Hal ini terbukti di dalam acara tujuh bulan bayi di kandungan diadakan upacara mitoni yang dilambangkan pada cengkir (kelapa muda) berlukiskan Batara Kamajaya dan Batari Ratih.

BATARA SURYA
Putra dari : Semar (Batara Ismaya)

Kekuasaan : Dewa Matahari

Keterangan :
Batara Surya adalah seorang dewa yang menguasai gerak Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna Betara Surya adalah salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan ibunya dewi Kunti.

BATARA BAYU
Tempat tinggal : Kayangan Panglawung

Ayah : Batara Guru

Ibu : Dewi Uma

Istri : Dewi Sumi

Kesaktian :
Batara Bayu mempunyai kesaktian angin dan ia menjadi dewanya hewan, raksasa, dan manusia.

Yang tersebut golongan putera dewa Bayu adalah :

Batara Bayu

Hanuman

Wrekodara Wil Jajalpaweka

Liman setubanda

Sarpa Nagakuawara

Garudha Mahambira

Begawan Maenaka

Keterangan :
Batara Bayu pernah menjadi raja di Mayapada di negara Medanggora, bergelar prabu Bhima. Pada ceritera Pedalangan dalam lakon Bhima Bungkus di situ terlukis putera Pandu yang masih berada dalam keadaan terbungkus, sebelum sang bayi berwujud sebagai layaknya bayi biasa, Batara Bayu masuk kedalam bungkus sang bayi dan memberinya busana seorang kesatria.

BATARA WISNU
Tempat : Kayangan Utarasagara

Ayah : Batara Guru

Ibu : Batari Uma

Isteri : Dewi Pertiwi

BATARA KALA
Kayangan : kayangan Selamangumpeng

Ayah : Batara Guru

Istri : Batari Durga

Keterangan :
Batara Kala lahir dari Kama salah yang jatuh dilaut pada saat Batara Guru rekrasi dengan Batari Uma (lihat hal Batari Uma). Batara Kala dilahirkan dalam wujud api yang berkobar-kobar yang makin lama makin besar. Hal ini membuat gara-gara di Suralaya, sehingga para dewa diperintahkan oleh Batara Guru untuk mematikan api yang berkobar-kobar tetapi tidak mati, malah makin lama makin besar dan naik ke Suralaya menanyakan bapaknya.

Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.

Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

BATARA YAMADIPATI

Putra dari : Semar (Betara Ismaya)

Tempat : Kayangan Argodulamilah

Keterangan :
Betara Yamadipati, dewa yang ditugasi mencabut nyawa dan menjaga neraka. Adapun wajah Yamadipati berbentuk manusia dan wajah raksasa yang mengerikan. Yamadipati juga terseret pada perbuatan tidak benar tetapi setelah direnungkan tidak baik, maka berbelok pada posisinya semula.*

JENENGE RATU LAN PANDHITA
1. Prabu Arjuna Sasrabahu ratu ing Maespati
2. Prabu Baladewa ratu ing Mandura
3. Prabu Basudewa ratu ing Mandura
4. Prabu Bomanarakasura ratu ing Trajutrisna
5. Prabu Drupada ratu ing Cempala
6. Prabu Dasarata ratu ing Ngayodya
7. Prabu dasamuka ratu ing Ngalengka
8. Prabu Drestarata ratu ing Ngastina
9. Prabu Kresna ratu ing Dwarawati
10.Prabu Karna ratu ing Ngawangga
11.Prabu Maswapati ratu ing Wiratha
12.Prabu Niwatakawaca ratu ing Iman Imantaka
13.Prabu Pandhu Dewanata ratu ing Ngastina
14.Prabu Puntadewa ratu ing Ngamarta
15.Prabu Ramawijaya ratu ing Pancawati
16.Prabu Salya ratu ing Mandraka
17.Prabu Sugriwa ratu ing Guwakiskendha
18.Prabu Suyudana ratu ing Ngastina
19.Begawan Abiyasa pratapane ing Saptaarga
20.Resi Bima pratapane ing Talkandha
21.Pandhita Duma pratapane ing Sokalima
22.Begawan Mintaraga pratapane ing Indrakila
23.Resi Palasara pratapane ing Ratawu
24.Resi Subali pratapane ing Guwakiskendha

JENENGAN SATRIYA LAN KASATRIYANE

1. Abimanyu : Satriyo ing Plengkawati
2. Anoman : Satriyo ing Kendhalisada
3. Arjuna : Satriyo ing Madukara
4. Aswatama : Satriyo ing Sokolima
5. Antarejo : Satriyo ing Jangkarbumi
6. Dresthajumeno : Satriyo ing Cempalarejo
7. Dursasana : Satriyo ing Banjarjungut
8. Gatutkaca : Satriyo ing Pringgodani
9. Jayadrata : Satriyo ing Banakeling
10. Kumbakarana : Satriyo ing Penglebur Gangsa
11. Lesmana Mandra : Satriyo Saroja Binangun
12. Nakula lan Sadewa: Satriyo ing Sawojajar
13. Samba : Satriyo ing Paranggaruda
14. Setiyaki : Satriyo ing Lesanpura
15. Sengkuni : Satriyo ing Plasajenar
16. Werkudara : Satriyo ing Jodhipati

SENJATA LAN AJI-AJI
1.Antareja :upas anta
2.Aswatama :senjata cundhamanik
3. Baladewa :senjata kunta, gada nanggala lan alugara
4. Dasamuka : senjata candrasa, pedhang sokayana aji-aji pancasona
5. Gathutkaca :caping basunandha, kotang antakusuma. Aji-aji narataka
6. Indrajit : senjata nagapasa lan wimohanastra
7. Janaka : panah pasopati, soratama, ardhadhedhali, keris pulanggeni, kalanadhah.aji-aji sepiangin
8.Jayadrata : gada rujakbeling
9. Karna : senjata kunta, keris kaladite, panah wijayandanu.aji-aji kalalupa
10. Kresna :senjata cakra. aji-aji wijayakusuma
11. Kumbakarna : aji-aji gedhongmenga, pelakgelak sakethi
12. Puntadewa : aji-aji kalimasada, songsong tunggulnaga
13. Ramawijaya : panah gunawijaya
14. Salya : aji-aji candhabirawa
15. Subali : aji-aji pancasona
16. Werkudara : gada rujakpolo, lukitasari, kuku pancanaka

http://karatonsurakarta.com/wayang.html

Senin, 24 Mei 2010

Drona

(Sanskerta: द्रोणाचार्य, Droṇāchārya) adalah guru para Korawa dan Pandawa. Ia merupakan ahli mengembangkan seni pertempuran, termasuk dewāstra. Arjuna adalah murid yang disukainya. Kasih sayang Drona terhadap Arjuna adalah yang kedua jika dibandingkan dengan rasa kasih sayang terhadap puteranya, Aswatama.

Kelahiran dan kehidupan awal
Drona dilahirkan dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia merupakan putera dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang berarti bahwa ia (Drona) berkembang bukan di dalam rahim, namun di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).

Kisah kelahiran Drona diceritakan secara dramatis dalam Mahabharata.[1] Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk melakukan penyucian diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta dikuasai nafsu, menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Ia mengatur supaya air mani tersebut ditampung dalam sebuah pot yang disebut drona, dan dari cairan tersebut Drona lahir kemudian dirawat. Drona kemudian bangga bahwa ia lahir dari Bharadwaja tanpa pernah berada di dalam rahim.

Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, namun belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.

Drona menikahi Krepi, adik Krepa, guru di keraton Hastinapura. Krepi dan Drona memiliki putera bernama Aswatama.

Belajar kepada Parasurama
Mengetahui bahwa Parasurama mau memberi pengetahuan yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona mendatanginya. Sayangnya pada saat Drona datang, Parasurama telah memberikan segala miliknya kepada brahmana yang lain. Karena tersentuh oleh kesanggupan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk memberikan pengetahuannya tentang ilmu peperangan kepada Drona

Drona dan Drupada
Demi keperluan istri dan puteranya, Drona ingin bebas dari kemiskinan. Teringat kepada janji yang diberikan oleh Drupada, Drona ingin menemuinya untuk meminta bantuan. Tetapi, karena mabuk oleh kekuasaan, Raja Drupada menolak untuk mengakui Drona (sebagai temannya) dan menghinanya dengan mengatakan bahwa ia manusia rendah.

Dalam Mahabarata, Drupada memberi penjelasan yang panjang dan sombong kepada Drona tentang masalah kenapa ia tidak mau mengakui Drona. Drupada berkata, "Persahabatan, adalah mungkin jika hanya terjadi antara dua orang dengan taraf hidup yang sama". Dia berkata bahwa sebagai anak-anak, adalah hal yang mungkin bagi dirinya untuk berteman dengan Drona, karena pada masa itu mereka sama. Tetapi sekarang Drupada menjadi raja, sementara Drona berada dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti ini, persahabatan adalah hal yang mustahil. Tetapi ia berkata bahwa ia akan memuaskan hati Drona apabila Drona mau meminta sedekah selayaknya para brahmana daripada mengaku sebagai seorang teman. Drupada menasihati Drona supaya tidak memikirkan masalah itu lagi dan ingin ia hidup menurut jalannya sendiri. Drona pergi membisu, namun di dalam hatinya ia bersumpah akan membalas dendam.

Legenda Dronacharya

Legenda tentang Drona sebagai guru besar dan kesatria tak terbatas pada mitologi Hindu saja, namun dengan kuatnya mempengaruhi tradisi sosial India. Drona memberi inspirasi perdebatan tentang moral dan dharma dalam wiracarita Mahabharata.

Bola dan cincin
Drona pergi ke Hastinapura dengan harapan dapat membuka sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan memohon bantuan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengambilnya kembali.

Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.

Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.

Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan keberaniannya yang memberi contoh, ia kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona mendirikan sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.

Diskriminasi kasta
Ekalawya adalah seorang pangeran muda dari suku Nishadha, yang datang mencari Drona karena minta diajari. Drona tidak mau menerimanya karena ia tidak berasal dari golongan Warna (kasta) kesatria. Ekalawya tidak terkejut, kemudian memasuki hutan, dan ia mulai belajar dan berlatih sendirian, dengan sebuah patung tanah liat menyerupai Drona dan ia sembah. Dengan menyendiri, Ekalawya menjadi kesatria dengan kehebatan yang luar biasa, setara dengan Arjuna. Pada suatu hari, seekor anjing menggonggong saat ia serius melakukan latihan, dan tanpa melihat, sang kesatria menembakkan panah lalu menancap di mulut anjing tersebut. Para Pandawa melihat anjing itu lari, dan heran karena ada yang mampu melakukan perbuatan tersebut. Mereka melihat Ekalawya, yang mengaku bahwa ia adalah murid Drona. Drona kaget karena merasa tidak memiliki murid seperti Ekalawya. Kemudian Ekalawya menjelaskan bahwa setiap hari ia belajar dengan patung yang menyerupai Drona yang ia anggap sebagai guru. Karena merasa prestasi Arjuna akan tersaingi, Drona meminta agar Ekalawya mempersembahkan daksina kepada sang guru sebagai tanda bahwa pelajarannya telah sempurna. daksina yang diminta Drona adalah ibu jari Ekalawya. Ekalawya pun memotong jarinya sendiri sehingga ia tidak bisa lagi menggunakan senjata panah.

Karna yang ingin belajar di bawah bimbingan Drona juga ditolak dengan alasan bahwa Karna tidak berasal dari kasta kesatria. Karena merasa terhina, Karna belajar kepada Parasurama dengan menyamar sebagai brahmana.

Pembalasan terhadap Drupada
Saat para Korawa dan Pandawa menyelesaikan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menggempur Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa angkatan perang. Arjuna menangkap Drupada dan membawanya ke hadapan Drona. Drona mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan upacara untuk memohon anugerah seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam Bharatayuddha, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa.

Pertempuran di Kurukshetra
Saat perang di Kurukshetra berkecamuk, Drona menjadi komandan pasukan Korawa. Ia merencanakan cara yang curang untuk membunuh Abimanyu pada pertempuran di hari ketiga belas.

Kematian Drona
Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalau berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha.

Drona dalam pewayangan Jawa
Riwayat hidup Drona dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sanskerta. Beberapa perbedaan tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama. Perlu digarisbawahi juga, bahwa kepribadian Drona dalam Mahabharata berbeda dengan versi pewayangan.

Kepribadian
Resi Drona berwatak tinggi hati, sombong, congkak, bengis, banyak bicaranya, tetapi kecakapan, kecerdikan, kepandaian dan kesaktiannnya luar baisa serta sangat mahir dalam berperang. Karena kesaktian dan kemahirannya dalam olah keprajuritan, Drona dipercaya menjadi guru anak-anak Pandawa dan Kurawa. Ia mempunyai pusaka sakti berwujud keris bernama Keris Cundamanik dan panah Sangkali (diberikan kepada Arjuna).

Riwayat
Bhagawan Drona atau Dorna (dibaca Durna) waktu mudanya bernama Bambang Kumbayana, putera Resi Baratmadya dari Hargajembangan dengan Dewi Kumbini. Ia mempunyai saudara seayah seibu bernama Arya Kumbayaka dan Dewi Kumbayani. Ia adalah guru dari para Korawa dan Pandawa. Murid kesayangannya adalah Arjuna. Resi Drona menikah dengan Dewi Krepi, putri Prabu Purungaji, raja negara Tempuru, dan memperoleh seorang putra bernama Bambang Aswatama. Ia berhasil mendirikan padepokan Sokalima setelah berhasil merebut hampir setengah wilayah negara Pancala dari kekuasaan Prabu Drupada.

Dalam perjalanannya mencari Sucitra, ia tidak dapat menyeberang sungai dan ditolong oleh seekor kuda terbang jelmaan Dewi Wilutama, yang dikutuk oleh dewa. Kutukan itu akan berakhir bila ada seorang satria mencintainya dengan tulus. Karena pertolongannya, maka sang Kumbayana menepati janjinya untuk mencintai kuda betina itu. Namun karena terbawa nafsu, Kumbayana bersetubuh dengan kuda Wilutama hingga mengandung, dan kelak melahirkan seorang putra berwajah tampan tetapi mempunyai kaki seperti kuda (bersepatu kuda), yang kemudian diberi nama Bambang Aswatama.

Setelah bertemu Sucitra yang telah menjadi raja dan bergelar Prabu Drupada, ia tidak diakui sebagai saudara seperguruannya. Kumbayana marah merasa dihina, kemudian balik menghina Raja Drupada. Namun Mahapatih Gandamana (dulu adalah Patih di Hastinapura, saat pemerintahan Pandu) menjadi murka sehingga terjadi peperangan yang tidak seimbang. Meskipun Kumbayana sangat sakti ternyata kesaktiannya masih jauh di bawah Gandamana yang memiliki Aji Bandung Bondowoso (ajian ini diturunkan pada murid tercintanya, Raden Bratasena) yang memiliki kekuatan setara dengan seribu gajah.

Kumbayana menjadi bulan-bulanan sehingga wajahnya rusak. Namun dia tidak mati dan ditolong oleh Sangkuni yang bernasib sama (baca sempalan Mahabharata yang berjudul Gandamana Luweng). Akhirnya ia diterima di Hastinapura dan dipercaya mendidik anak-anak keturunan Bharata (Pandawa dan Korawa).

Drona dalam Bharatayuddha

Dalam perang Bharatayuddha, Resi Drona diangkat menjadi Senapati Agung Kurawa, setelah gugurnya Bisma. Ia sangat mahir dalam siasat perang dan selalu tepat menentukan formasi perang. Resi Drona gugur di medan pertempuran oleh tebasan pedang Drestadyumena, putera Prabu Drupada, yang memenggal putus kepalanya. Konon kematian Resi Drona akibat dendam Prabu Ekalaya, raja negara Parangggelung yang arwahnya menyatu dalam tubuh Drestadyumena. Akan tetapi sebenarnya kejadian itu disebabkan oleh taktik perang yang dilancarkan oleh pihak Pandawa dengan tipu muslihat karena kerepotan menghadapi kesaktian dan kedigjayaan sang Resi.

Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bagaimanapun saktinya sang resi, beliau sangat sayang terhadap keluarganya sehingga termakan tipuan dalam peperangan yang mengakibatkan kematiannya.

Sabtu, 22 Mei 2010

Bima (tokoh Mahabharata)

Bima (Sanskerta: भीम, bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: भीमसेन, bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.

Arti nama
Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.

Kelahiran
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.

Masa muda
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.

Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.

Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para [Pandawa] menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.

Pendidikan
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.

Peristiwa di Waranawata
Ketika Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.

Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.

Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.

Peristiwa di Hidimbawana
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/Arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.

Pembunuh Raksasa Baka

Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.

Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.

Bima dalam Bharatayuddha
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.

Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati.

Bima dalam pewayangan Jawa
Bima adalah seorang tokoh yang populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip dengan karakter Bima.

Sifat

Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.

Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.

Istri dan keturunan
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
1. Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
2. Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
3. Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.

Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi Rekatawati, berputera Srenggini.

Nama lain
• Bratasena
• Balawa
• Birawa
• Dandungwacana
• Nagata
• Kusumayuda
• Kowara
• Kusumadilaga
• Pandusiwi
• Bayusuta
• Sena
• Wijasena
• Jagal Abilowo

Selasa, 18 Mei 2010

Banjaran Arjuna

Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.

Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".

Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan).

Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
"Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun."

Kelahiran

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Raja Hastinapura yang bernama Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti (istri pertamanya) menerima anugerah dari Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa Bayu (Marut), dan Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.

Sifat dan kepribadian

Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".

Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai"

Masa muda dan pendidikan
Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.

Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.

Pusaka
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".

Arjuna mendapatkan Dropadi
Pada suatu ketika, Raja Drupada dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.

Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.

Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kami bawa!". Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk, menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1 tahun.

Perjalanan menjelajahi Bharatawarsha
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.

Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.

Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.

Terbakarnya hutan Kandawa

Pada suatu ketika, Arjuna dan Kresna berkemah di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, Dewa Api. Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Dewa Indra selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul. Kemudian Agni memanggil Baruna, Dewa Lautan. Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi anak panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.

Arjuna dalam masa pembuangan
Setelah Yudistira kalah bermain dadu, para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.

Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.

Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "Pasupati".

Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci. Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta Dropadi menuju ke kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.

Meletusnya perang
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui untuk melakukan perang.

Arjuna menerima Bhagawadgita
Kresna, adik Baladewa, tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara Pandawa dan Korawa. Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain memilihnya sebagai penasihat. Akhirnya, Duryodana memilih tentaranya, sedangkan Arjuna memilih Kresna sebagai kusir keretanya selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau Kurukshetra. Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.

Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Arjuna berkata:
"Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"

Melihat hal itu, Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama Hindu, menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.

Arjuna dalam Bharatayuddha
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.

Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panahnya yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.

Kehidupan setelah Bharatayuddha
Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali.

Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.

Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.

Perjalanan suci dan kematian

Perjalanan suci yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya.

Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi.

Arjuna di Nusantara
Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.

Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa
Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sansekerta

Sifat dan kepribadian
Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).

Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.

Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.

Pusaka
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).

Istri dan keturunan
Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua sebagai simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang sekaku berguru kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:
1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu;
2. Dewi Sulastri, berputra Raden Sumitra;
3. Dewi Larasati, berputra Raden Bratalaras;
4. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
7. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
8. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
10. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
12. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
13. Dewi Maheswara;
14. Dewi Retno Kasimpar;
15. Dewi Dyah Sarimaya;
16. Dewi Srikandi.

Julukan

Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong). "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.

Nama lain

Nama lain Arjuna di bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab Mahabharata atau Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya, dalam versi bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama Arjuna).
1. Anagha (Anaga, yang tak berdosa)
2. Bhārata (Barata, keturunan Bhārata)
3. Bhārataśreṣṭha (Barata-sresta, keturunan Bhārata yang terbaik)
4. Bhāratasattama (Bharata-satama, keturunan Bhārata yang utama)
5. Bhārataśabhā (Barata-saba, keturunan Bharata yang mulia)
6. Dhanañjaya (perebut kekayaan)*
7. Gandīvi (Gandiwi, pemilik Gandiwa, senjata panahnya)
8. Gudakeśa (penakluk rasa kantuk, yang berambut halus)
9. Jishnu (hebat ketika marah)*
10. Kapidhwaja (yang memakai panji berlambang monyet)
11. Kaunteya / Kuntīputra (putra Dewi Kunti)
12. Kīrti (yang bermahkota indah)*
13. Kurunandana (putra kesayangan dinasti Kuru)
14. Kurupravīra (Kuru-prawira, perwira Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
15. Kurusattama (Kuru-satama, keturunan dinasti Kuru yang utama)
16. Kuruśṛṣṭha (Kuru-sresta, keturunan dinasti Kuru yang terbaik)
17. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
18. Pāṇḍava (Pandawa, putra Pandu)
19. Parantapa (penakluk musuh)*
20. Pārtha (keturunan Partha atau Dewi Kunti)*
21. Phālguna (yang lahir saat bintang Uttara Phalguna muncul)*
22. Puruṣaṛṣabhā (Purusa-rsaba, manusia terbaik)
23. Sawyaśachī (Sawya-saci, yang mampu memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
24. Śwetawāhana (Sweta-wahana, yang memiliki kuda berwarna putih)*
25. Wibhatsu (yang bertarung dengan jujur)*
26. Wijaya (yang selalu memenangkan setiap pertempuran)*